Ada tiga term utama yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam merumuskan konsep masyarakat madani. Yaitu demokrasi, masyarakat madani, dan civility. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, untuk menjalankan demokrasi perlu ruang yang kondusif dan mampu memberi kehidupan untuk berdemokrasi di dalamnya. Ruang atau rumah itu adalah masyarakat madani atau civil society.
Adapun civility adalah kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, berupa toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Kualitas masyarakat madani dapat diukur dari kualitas civility.
Semakin terbuka dan bersedia untuk menerima pandangan, pendapat, dan perbedaan, maka semakin tinggi kualitas civility yang dimilikinya. Lebih lanjut Nurcholish Madjid memandang masyarakat madani merupakan sebuah bentuk bangunan "kebersamaan".
Masyarakat memiliki kesetaraan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Hak-hak azasi dan seluruh kewajibannya diakui dan dihormati oleh negara. Semua kalangan memiliki kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawab yang diembannya.
Nabi Muhammad Saw telah jauh sebelum munculnya masyarakat modern memberi contoh bagaimana membangun suatu peradaban yang ideal. Dengan hijrah ke Yatsrib, Nabi kemudian melakukan reformasi besar sebagai tandingan peradaban yang dimiliki oleh masyarakat Jahiliyah.
Saat itu, masyarakat Arab secara sosio-kultural mengalami krisis kemanusiaan, kering akan nilai etika-spiritual, dan sistem kemasyarakatan yang tidak kondusif. Oleh karenanya, Nabi kemudian dalam dakwahnya melakukan perombakan-perombakan secara sistematis dan gradual (perlahan-lahan) agar masyarakat Arab memiliki kesadaran dan mau kembali kepada ajaran dan petunjuk Ilahi.
Proses panjang selama kurang lebih 23 tahun inilah yang menurut Nurcholish Madjid sebagai sebuah proses transformasi menuju masyarakat madani.
29 Agustus 2005. Inilah hari kehilangan besar tak hanya bagi Paramadina, tapi juga bagi Indonesia. Nurcholish Madjid meninggal dunia.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menyebut Nurcholish sebagai “Salah satu putra terbaik bangsa dan intelektual Muslim terbesar. Dia negarawan besar yang tidak pernah berpikir memperkaya diri dan keluarga. Yang mendidik negeri dengan intelektualitasnya dan kejujurannya.”
Dalam obituarinya, Harian Kompas menyebut Nurcholish sebagai “guru bangsa” yang mengilhami seluruh negeri dengan gagasan moderat, plural, toleran, dan demokratis serta cara berpikir inklusif dan dinamik.
Hidup Nurcholish mencerminkan sejarah panjang pergulatan pemikiran umat Islam Indonesia dari seorang santri Pondok Gontor menjadi tokoh nasional yang membawa citra Islam yang modern dan terbuka.