"Pendidikan adalah segala-galanya bila ingin maju. Maju harkat pribadinya, maju nasionya, maju peradabannya. Itulah satu dari banyak hal yang diangankan Pramoedya Ananta Toer kalau kita membaca secara seksama beberapa novelnya, terutama sekali roman Kwartet Buru.
ㅤㅤ
Tak peduli apakah pendidikan itu berlangsung dalam proses formal (Minke ― HBS) maupun non-formal (Nyai Ontosoroh ―kursus pembukuan dan administrasi perusahaan susu dan ternak dan penyerapan buku-buku bacaan Eropa dari lakinya yang totok bernama Herman Mallema). ㅤ
ㅤ
Di awal abad, lewat novel Buru-nya, Pram mengangankan bahwa kemajuan bisa dicapai jika unsur mitos yang mencandra akal dan feodalisme yang membungkam rasio bisa ditusuk tumpas dengan pendidikan. Sebab kedua faham itu menghalangi seorang manusia untuk merebut martabatnya sebagai manusia yang maju dan merdeka karena dipaksa oleh hirarki yang dibentuk oleh sistem feodalisme raja-raja. Karena itu, walaupun Pram orang Jawa totok, ia menolak kejawaannya itu dengan tegas. “Aku bukan Jawa dan ogah berbahasa Jawa. Aku orang Indonesia.”