Gila Kuasa
Cari Berita

Advertisement

Gila Kuasa

Tuesday, September 12, 2017

Saudaraku, betapa limpah jumlah petaruh di bursa perebutan kekuasaan. Modal politik yang besar, tak menyurutkan hasrat para aspiran untuk bertaruh.
ㅤㅤ ㅤㅤ
Memasuki babak terkini kisah pemilihan Orde Reformasi, aktor-aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang, memberi kesempatan kepada aktor-aktor biasa untuk mengisi pentas. Inilah era manusia rerata (the era of common man).


Pergeseran ini bisa memberi prakondisi yang positif bagi demokrasi egaliter jika didukung oleh sistem meritokrasi, yang memungkinkan pasar kepemimpinan bisa diakses oleh orang-orang kapabel dari segala kalangan. Bisa juga berdampak negatif jika era rerata ini hanya memberi outlet bagi narsisme politik para pemuja diri.
ㅤㅤ ㅤㅤ
Ketika kekaguman terhadap ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, secara naluriah banyak orang mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri (self-glorification). Hanya berbekal penampilan, sumbangsih tipis, atau modal tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negera ini.
ㅤㅤ ㅤㅤ
Ledakan narsisme yang mendorong kegilaan menjadi penguasa itu mengandung potensi destruktifnya tersendiri bagi demokrasi. Seperti dikatakan Montesquieu bahwa ”Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”

Para petaruh yang tidak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, ketebalan modal sosial, dan kedalaman rekam jejak pergulatan publik mudah tergoda untuk mengompensasikan kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi pencitraan.

Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang nilai sumbangsihnya terhadap bangsa. Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yang tidak otentik dalam ruang publik kita.